Masalah utama penegakan hukum di negara-negara
berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri,
melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan
demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati
posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan
akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999
tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan,
yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan
penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh
dan penuh tanggung jawab.
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam
masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai
dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan
pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau
menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan
panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu,
sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas.
Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di
dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta
memberikan keteladanan yang baik
Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa
salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih
rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat )
serta judicial corruption yang sudah terlanjur mendarah daging sehingga
sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas
menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang
seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit
diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance.
Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim,
jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan
prinsip-prinsip good governance.
Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum,
tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum
sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri,
penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada
salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh
sistem akan terkena pengaruh negatifnya (Soerjono Soekanto dan Mustafa
Abdullah, 1987: 20). Misalnya, kalau hukum tertulis yang mengatur suatu bidang
kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam
kepincangan. Maka seluruh lapisan masyarakat akan merasakan akibat pahitnya.
Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum
mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas strata atas,
menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki
suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup
tugasnya. Dalam penegakkan hukum, menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip
oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai
berikut:
a) Sampai sejauhmana
petugas terikat dengan peraturan yang ada,
b) Sampai batas-batas mana
petugas berkenan memberikan kebijakan,
c) Teladan macam apakah
yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat,
d) Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan
kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya
1 komentar:
menarik untuk disimak, terimakasih banyak artikelnya...
Post a Comment