Aku Mencintaimu dengan Bismillah
SETIAP rasa di setiap saat adalah cinta, selalu dan untuknya tak dapat tergantikan. Seperti embusan angin membelaiku mesra, serasa terbuai meyakinkan tentang taburan mimpi yang bersahaja. Teringat, mengingat, mengkhayalkan adalah khayalku bersamanya, melebur rindu hingga tak mampu untuk berpaling.
Aku merasa cerita hidup takkan sempurna bila tanpanya menuliskan kisah cinta karena satu cinta yang tersaji mengikat hati dan takkan rapuh bila dua yang merayu. Untuknya satu cinta tak akan berganti walau bidadari merayu menduakannya. Tak dapat dimunafikkan adalah rasa pada satu sapa dan satu raga yang tak mampu untukku sekadar berpaling karena bernapas pun serasa harum napasnya yang terasakan, menatap adalah wajahnya yang tak mampu sekadar aku palingkan.
Bila itu yang terjadi, keinginan untuk menekuk hari memutar secepat mungkin waktu karena hanya bui bantal guling menemani bila sendiri menyendiri di kamar. Menyentuh senyum dari foto yang menghias dinding kamar tanpa dalil membuatku semakin rindu.
”Rendi, Rendi,” terdengar sapa dan ketuk pintu, aku pun keluar kamar dan Shekar lah yang datang ketika aku buka pintu.
”Kamu, silakan masuk,” kataku sambil mempersilakan duduk.
”Rendi, ikut aku ya. Hari ini aku ingin menikmati keindahan pantai dan melihat matahari terbenam,” katanya.
Tanpa berpikir panjang aku mengiyakan saja karena ini adalah pertama kalinya kita jalan-jalan bersama sejak 3 hari yang lalu kita meresmikan hubungan cinta. Kita pun berangkat menuju pantai dengan naik motor, sepanjang perjalanan adalah perasaan bahagia memboncengnya dengan pelukan erat. Sesampainya, Shekar berlari menuju bibir pantai. Menjauh dan mendekat, begitulah Shekar bercanda dengan ombak. Senang aku temui dari senyum dari paras ayu yang aku lihat. ”Rendi, sini,” dia mengajakku dan menghampiri serta menarik tanganku untuk bermain-main dengan ombak.
Setelah merasa puas, kita pun memilih duduk di pasir memandangi barat melihat matahari yang akan terbenam. ”Shekar, pejamkan matamu. Aku punya sesuatu!” kataku dan saat itu pun Shekar memejamkan matanya. Aku pun menulis kata-kata di pasir, setelah itu menyuruh Sekar membuka matanya.
”Aku mencintaimu dengan bismillah,” begitulah ia membacanya dan saat itu dia menatap wajahku. ”Rendi, I love you,” katanya.
”Bismillah, begitulah aku memulai cinta ini karena cinta adalah anugerah untuk setiap umat-Nya. Dengan berucap bismillah, aku mengharap rida-Nya agar cinta ini menjadi cerita indah hingga takdir pun akan memihak kepada kita,” rayuku.
”Aku pun demikian, dengan berucap bismillah, aku angkat kedua tangan ini di setiap sepertiga malam, meminta cinta kita menjadi takdir dengan rida-Nya. Rendi, jadikanlah aku yang terakhir dan terimalah segalah kekurangan yang aku miliki,” katanya.
Anggukan kepala mengisyaratkan iya. ”Shekar, biarlah alam raya ini bersaksi dan pantai menyaksikan aku dan dirimu berucap saling cinta untuk setia,” kataku dan sesaat itu Shekar menyandarkan kepalanya di bahuku dan tangannya memegang tanganku menikmati dan menanti matahari berganti malam.
”Rendi,” sapa Yuli yang menghampiri kita.
”Kamu?” kataku dan aku pun bersalaman. ”Oya, kenalin ini Shekar pacarku,” kataku dan meraka akhirnya berkenalan.
”Rendi, ada sesuatu yang harus aku omongin dan kalau boleh empat mata saja,” katanya dan setelah diizinkan oleh Shekar kita menjauh dan berbicara. ”Aku cuma mau ngasih tahu sebelum terlambat, cewekmu itu tidak akan bisa hamil karena rahimnya diangkat bersama tumor yang bersarang di dalamnya.”
”Sudahlah, jangan mengada-ada. Lagian kamu tahu dari mana. Aku mohon jangan berusaha merusak hubungan aku dengan Shekar,” tegasku.
”Aku tidak bermaksud ikut campur dengan hubunganmu, lagian aku tak mencintaimu. Sebagai teman aku cuma memberitahukan yang sebenarnya terjadi. Oya, aku tahu dari bapak karena bapakku adalah tim dokter yang mengoperasi dia, dan dia juga sering memeriksakan kesehatannya ke bapakku,” katanya. ”Kamu pikirkan itu sebelum melangkah lebih jauh,” tambahnya dan setelah itu dia pergi dan aku hanya bisa duduk tertunduk menatap dengan tatapan kosong.
”Rendi, kenapa bengong?” sapa Shekar yang menghampiriku dan duduk di sampingku.
Secepatnya aku tersenyum menutupi yang sebenarnya dan mengalihkan perhatian. ”Cobalah lihat ke barat, mataharinya melukiskan jingga. Shekar, aku ingin kita selalu bersama menikmati keindahan dan bahkan keinginanku sampai punya anak, kita akan tetap seperti ini, bertiga menikmati keindahan” kataku yang mencoba memanfaatkan keadaan.
Tertunduk, terdiam dan air mata menetes terlihat dari parasnya. ”Maafkan aku, aku merasa menyesal kenapa aku dilahirkan seperti ini,” katanya dan setelah itu dia meninggalkanku dan berjalan melawan ombak.
”Shekar, apa yang terjadi?” tanyaku dan aku berlari mendekatinya, aku paksa dia menatap wajahku. ”Asalkan kamu jujur, aku akan menerima apa pun yang terjadi denganmu”
”Perlu kamu ketahui, aku tidak bisa memenuhi keinginanmu. Jika nanti kita menikah, aku tidak akan punya anak, rahimku telah diangkat karena tumor. Maafkan aku telah berbohong tentangku yang sebenarnya, sekarang terserah kepadamu,” katanya dengan tangisnya.
Aku pun memegang tangannya dan menaruh di dadaku. ”Aku memulai cinta ini dengan bismillah dan tak mungkin berhenti sebelum amin mengamini. Jadi tak ada alasan untukku meninggalkanmu sebelum Tuhan mengamini semua mimpi-mimpiku untuk bersamamu mengikat janji suci dengan ikatan halal. Jantung ini berdetak serasa separo jantung adalah jantungmu. Mata ini, jika kau tatap ada ketulusan. Peluklah aku, rasakan kesungguhan. Shekar, masalah anak itu belakangan, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menikmati pelaminan bersama,” rayuku meyakinkannya.
Senyum, begitulah yang terlihat ketika aku mengusap air matanya. ”Jangan pernah tinggalkan aku” katanya sambil memelukku. ”Jangan khianati aku,” begitulah pintaku.
Penulis : BENNY CAN (Benny Candra Adinata, S.Pd)
0 komentar:
Post a Comment